Jaipongan terlahir melalui proses kreatif dari tangan dingin H Suanda
sekitar tahun 1976 di Karawang, jaipongan merupakan garapan yang
menggabungkan beberapa elemen seni tradisi karawang seperti pencak
silat, wayang golek, topeng banjet, ketuk tilu dan lain-lain. Jaipongan
di karawang pesat pertumbuhannya di mulai tahun 1976, di tandai dengan
munculnya rekaman jaipongan SUANDA GROUP dengan instrument sederhana
yang terdiri dari gendang, ketuk, kecrek, goong, rebab dan sinden atau
juru kawih. Dengan media kaset rekaman tanpa label tersebut (indie
label) jaipongan mulai didistribusikan secara swadaya oleh H Suanda di
wilayah karawang dan sekitarnya. Tak disangka Jaipongan mendapat
sambutan hangat, selanjutnya jaipongan menjadi sarana hiburan masyarakat
karawang dan mendapatkan apresiasi yang cukup besar dari segenap
masyarakat karawang dan menjadi fenomena baru dalam ruang seni budaya
karawang, khususnya seni pertunjukan hiburan rakyat. Posisi Jaipongan
pada saat itu menjadi seni pertunjukan hiburan alternative dari seni
tradisi yang sudah tumbuh dan berkembang lebih dulu di karawang seperti
penca silat, topeng banjet, ketuk tilu, tarling dan wayang golek.
Keberadaan jaipong memberikan warna dan corak yang baru dan berbeda
dalam bentuk pengkemasannya, mulai dari penataan pada komposisi
musikalnya hingga dalam bentuk komposisi tariannya.
Mungkin diantara kita hanya tahu asal tari jaipong dari Bandung
ataupun malah belum mengetahui dari mana asalnya. Dikutip dari ucapan
kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata ( Disbudpar ) Karawang, Acep
Jamhuri “Jaipong itu asli Karawang. Lahir sejak tahun 1979 yang berasal
dari tepak Topeng. Kemudian dibawa ke Bandung oleh seniman di sana,
Gugum Gumilar. Akhirnya dikemas dengan membuat rekaman. Seniman-seniman
Karawang dibawa bersama Suwanda. Ketika sukses, yang bagus malah
Bandung. Karawang hanya dikenal gendangnya atau nayaga (pemain musik).
Makanya sekarang kami di Disbudpar akan mencoba menggali kembali seni
tari Jaipong bahwa ini seni yang sesungguhnya berasal dari Karawang”.
Tari ini dibawa ke kota Bandung oleh Gugun Gumbira,
sekitar tahun 1960-an, dengan tujuan untuk mengembangkan tarian asal
karawang dikota bandung yang menciptakan suatu jenis musik dan tarian
pergaulan yang digali dari kekayaan seni tradisi rakyat Nusantara,
khususnya Jawa Barat. Meskipun termasuk seni tari kreasi yang relatif
baru, jaipongan dikembangkan berdasarkan kesenian rakyat yang sudah
berkembang sebelumnya, seperti Ketuk Tilu, Kliningan, serta Ronggeng.
Perhatian Gumbira pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah Ketuk
Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharan pola-pola
gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu. Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari beberapa kesenian menjadi inspirasi untuk mengembangkan kesenian jaipongan.
Sebelum bentuk seni pertunjukan ini muncul, ada beberapa pengaruh
yang melatarbelakangi terbentuknya tari pergaulan ini. Di kawasan
perkotaan Priangan misalnya, pada masyarakat elite, tari pergaulan dipengaruhi dansa Ball Room
dari Barat. Sementara pada kesenian rakyat, tari pergaulan dipengaruhi
tradisi lokal. Pertunjukan tari-tari pergaulan tradisional tak lepas
dari keberadaan ronggeng
dan pamogoran. Ronggeng dalam tari pergaulan tidak lagi berfungsi untuk
kegiatan upacara, tetapi untuk hiburan atau cara bergaul. Keberadaan
ronggeng dalam seni pertunjukan memiliki daya tarik yang mengundang
simpati kaum pamogoran. Misalnya pada tari Ketuk Tilu yang begitu
dikenal oleh masyarakat Sunda, diperkirakan kesenian ini populer sekitar tahun 1916. Sebagai seni pertunjukan rakyat, kesenian ini hanya didukung oleh unsur-unsur sederhana, seperti waditra yang meliputi rebab, kendang, dua buah kulanter, tiga buah ketuk, dan gong.
Demikian pula dengan gerak-gerak tarinya yang tidak memiliki pola gerak
yang baku, kostum penari yang sederhana sebagai cerminan kerakyatan.
Seiring dengan memudarnya jenis kesenian di atas, mantan pamogoran
(penonton yang berperan aktif dalam seni pertunjukan Ketuk Tilu/Doger/Tayub) beralih perhatiannya pada seni pertunjukan Kliningan, yang di daerah Pantai Utara Jawa Barat (Karawang, Bekasi, Purwakarta, Indramayu, dan Subang)
dikenal dengan sebutan Kliningan Bajidoran yang pola tarinya maupun
peristiwa pertunjukannya mempunyai kemiripan dengan kesenian sebelumnya
(Ketuk Tilu/Doger/Tayub). Dalam pada itu, eksistensi tari-tarian dalam Topeng Banjet
cukup digemari, khususnya di Karawang, di mana beberapa pola gerak
Bajidoran diambil dari tarian dalam Topeng Banjet ini. Secara
koreografis tarian itu masih menampakan pola-pola tradisi (Ketuk Tilu)
yang mengandung unsur gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan
beberapa ragam gerak mincid yang pada gilirannya menjadi dasar
penciptaan tari Jaipongan. Beberapa gerak-gerak dasar tari Jaipongan
selain dari Ketuk Tilu, Ibing Bajidor serta Topeng Banjet adalah Tayuban
dan Pencak Silat.
Tarian ini mulai dikenal luas sejak 1970-an. Kemunculan tarian karya
Gugum Gumbira pada awalnya disebut Ketuk Tilu perkembangan, yang memang
karena dasar tarian itu merupakan pengembangan dari Ketuk Tilu. Karya
pertama Gugum Gumbira masih sangat kental dengan warna ibing Ketuk Tilu,
baik dari segi koreografi maupun iringannya, yang kemudian tarian itu
menjadi populer dengan sebutan Jaipongan.
0 komentar
Post a Comment